WHEN THE RAIN COME


           
Nama aku Fico.
Dulu. Aku sangat menyukai hujan. Karena ketika hujan, banyak cerita yang tertulis dikertasku. Cerita bahagia. Cerita aku dan kau. Seakan-akan, hujan tidak membuat kertasnya basah, karena terlanjur terpayungi oleh pelangi, dengan gugusan warna cerahnya hingga tak bisa membuat mataku terpejam.
Sekarang. Aku membenci hujan. 


Karena ketika hujan juga menangis. Tampak orang-orang melihatku. Tetapi mereka tak tahu aku menangis. Air mataku telah bersatu dengan air hujan, meliku-liku dipipiku menuju ke bawah, hingga akhirnya terjatuh. Saat itu, ingin rasanya aku berteriak, layaknya seorang anak yang merengek meminta mainan pada orangtuanya.
Bebanku terlalu berat. Aku bukan kuli bangunan. Aku bukan cowok yang kuat, yang berotot, dan berbadan six-pack. Aku bukan itu. Aku itu lemah. Sangat terlihat dari penampilanku, berkaca mata culun, kancing atas baju dikancing, rambut klimis belah kiri.
Semenjak itu. Setiap hujan, aku selalu bersembunyi. Aku tak mau melihat dan mendengar suara rintik hujan. Aku bersembunyi dan aku menangis.
Karena ketika hujan, terselip cerita singkat yang membekas dihati. Bukan membekas, tetapi menggores, atau menusuk, atau bahkan merobek hati ini menjadi tak utuh dan susah untuk mmpersatukannya kembali. Ketika itu, aku akan mengatakan sepenggal kalimat romantis yang sudah kususun sejak lama. Jika aku bunga mawar, aku itu sedang mekar-mekarnya. Tetapi, mawar ini tiba-tiba layu, terinjak-injak hingga tak berdaya. Apakah itu kau? Ku fokuskan mataku melihat padanya. Benar. Itu dia.
Aku terkejut, dia berduaan dengan siapa? Mereka berpegangan tangan dengan bebasnya, layaknya dunia milik mereka berdua. Apakah aku terlambat?
Dia melihatku dan menghampiriku, dengan aku yang masih terpaku dibawah siraman air hujan.
“Hai fico!” Sapanya dihadapanku.
Aku hanya diam sambil menatapnya. Dan dengan ketidak sengajaan, mataku mengeluarkan air matanya.
“Fico, apa kamu menangis?”Tanya dia.
“Selamat ya! Aku pikir, kita akan bersama, ya?”
“Maksud kamu? Bukankah kita selalu bersama?”
“Aku sendiri, dan kau dengannya di sini.”
“Aku tidak mengerti.”
“Aku tidak mengerti, aku kira ini saat yang tepat, ternyata tidak.”
“Kamu kenapa Fico?”
“Aku hanya tak enak. Tak enak jika mengatakan yang sebenarnya saat ini.”
“Mengapa? Kau ingin mengatakan apa?”
“Aku mencintaimu. Tapi, sebelum aku melihat ini. Sejak dulu aku ingin mengatakannya, dan kini aku terlambat. Terimakasih. Tak akan kulupakan semua ini. Terimakasih atas semua luka ini, akan ku bawa luka ini disetiap pijakkan kakiku melangkah. Aku pergi.”


Anggap saja ini tidak pernah terjadi. Tidak usah mengingatku. Tidak usah memikirkan bagaimana aku bertahan dengan semua luka ini. Aku tahu aku lemah. But God always beside me. Selamat tinggal! Semoga kau bahagia…

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERITA AKU, KAU, DAN KITA

WHEN THE RAIN COME “Karena Cinta”

Untuk Kamu yang Ada, dari Aku yang Tidak Ada