WHEN THE RAIN COME “Karena Cinta”

Nama aku Fico.
Aku sangat menyukai hujan. Karena ketika hujan, banyak cerita yang tertulis dikertasku. Cerita bahagia. Cerita aku dan kau. Seakan-akan, hujan tidak membuat kertasnya basah, karena terlanjur terpayungi oleh pelangi, dengan gugusan warna cerahnya hingga tak bisa membuat mataku terpejam, karena terlalu indah untuk tidak dipandang. Itu semua karenanya, hari-hariku menjadi indah.
Dia adalah Farah. Dia cantik. Tidak, bukan hanya cantik, ia memiliki hati yang suci. Tetapi, ia tidak berhijab. Bukan, melainkan belum berhijab. Aku ingin sekali melihatnya memakai kain, dan menutup mahkota atasnya, juga mengenakan baju yang menutup auratnya. Yang akan menambah kecantikannya itu.
Kami kuliah di fakultas dan kelas yang sama. Kami sedang di semester 4. Aku selalu optimis, bahwa aku akan bahagia. Bahagiaku adalah bersamanya. Di kampus, aku selalu bersamanya, berdua dengannya, menghabiskan waktu denganya seharian.
Ketika di kantin.
“Hai fico! Sendirian?”
“Eh, Farah. Iya nih, temenin dong.”
“Ya udah. Kamu mau pesen apa? Hari ini aku yang teraktir,”
“Samain aja sama kamu,”
“Oke!”
Farah meninggalkan Fico, untuk memesan makanan. Sementara Fico, mengambil sesuatu di dalam tasnya. Ternyata dia mengambil Al-Qur’an yang telah ia beli sebelumnya.
Beberapa menit kemudian, Farah kembali dengan membawa makanan yang telah dipesan.
“Nih, makanannya.”
“Makasih, rah.”
“Iyaaa.”
Fico lalu memberikan Al-Qur’an tersebut.
“Nih, Al-Qur’an buat kamu. Dibaca ya!”
“Makasih Fico. Pasti aku baca kok. Tapi, kenapa kamu ngasih Al-Qur’an?”
“Karena, kamu akan lebih mengingat Allah swt, Nabi Muhammad saw, dan teringat siapa yang ngasih Al-Qur’an ini buat kamu.”
“Subhanallah. Makasih ya, Fic.”
“Iya,”
Saat pulang kuliah, kami memutuskan untuk pergi ke suatu tempat. Kami pergi ke sebuah Taman, di sana kami bahagia. Sangat bahagia. Kami duduk di kursi taman.
“Fic, indah ya pemandangan di sini?”
Aku memandang Farah, dan mengatakan,
“Iya, sungguh ciptaan Tuhan yang sangat luar biasa, dan aku harap bisa menjadi milikku. Seutuhnya.”
“Maksud kamu?”
“Ah, iya, apa?”
“Kamu ini,”
“Udah yuk kita pulang,”
Kami lalu pulang bersama-sama. Itu pun dengan bahagia. Kami berdua menunggu bis di pinggir jalan. Kebetulan, di sekitar taman itu tidak ada halte.
Tiba-tiba hujan turun. Aku langsung melepaskan jaket yang ku kenakan, yang dijadikan sebagai payung untuk kami berdua. Kami pun bergegas mencari tempat untuk berteduh. Kami berteduh di bawah pohon. Kami gantung tas kami, di batang pohon yang patah.
“Fic, seneng-seneng yuk! Kita main hujan-hujanan.”
“Eh, tapi…”
Belum sempat aku mengakhiri perkataanku, ia langsung menarik tanganku  menuju tengah jalan. Kami hujan-hujanan disana. Kami saling ciprat-ciprat air. “Bahagianyaaa…” Gumamku dalam hati.



“Farah, bisnya sudah datang, udahan yuk!”
“Ah… nanti dulu.”
“Faraahh…” Sambil memegang erat kedua tangannya. “Aku takut kamu sakit.” Lanjutku.
“Oke!”
Kami pun bergegas mengambil tas kami. Lalu, menghampiri dan masuk ke dalam bis. Pak supir, langsung mengemudikan bisnya.
Sampailah bis yang kami tumpangi, di depan rumah Farah.
“Aku duluan. Assalamu’alaikum.” Sambil tersenyum padaku.
“Wa’alaikumsallam.”
Senyum itu. Aku merasa heran dengan senyumannya. Seperti sebuah senyuman perpisahan.  “Apa mungkin…. Ah tidak, aku harus berpikir positif.” Mencoba meyakinkan diriku sendiri.
Esoknya, aku tidak melihat Farah. Padahal, ingin mengatakan perasaanku padanya dengan membawa setangkai mawar merah, yang sudah kupersiapkan sebelumnya. Aku bertanya-tanya pada teman-temannya, mereka tak tahu. Sampai mata kuliah dimulai, ia tak kunjung ada. Aku coba hubungi dia. Aku telepon dia berkali-kali, tak juga diangkat. Aku sms, tak dibalas juga. Dia kemana?
Sepulangnya dari kuliah, aku langsung berkunjung ke rumahnya dengan menggunakan sepeda, kendaraan yang selalu aku pakai berangkat ataupun pulang kuliah. Sesampainya di rumah Farah. Ku rapikan kembali mawar yang ku bawa. Kulihat rumahnya tampak sepi dan hanya ada satu tukang. Kutanyakan padanya,
“Pak, Farahnya ada?”
“Oh, Non Farah. Semalam, ia pergi ke Jerman, mas.”
“Apa? Ke.. Ke Jerman?”
“Iya, mas. Dia lanjut kuliah di Jerman.”
Tanpa sengaja aku menjatuhkan mawarnya. Perasaan hatiku langsung menjadi campur aduk tidak karuan.
“Oh, yaudah. Makasih, pak.”
Benar saja. Senyumannya kemarin, ialah senyuman perpisahan. Farah. Kenapa kau lakukan ini, Farah.
Sesampainya di rumah.
Perasaan tadi berkecamuk hingga malam tiba. Hati ini terasa sangat sakit, aku sangat takut. Aku takut kehilangan dia.
Dalam hati ku berteriak, “Mengapa ia tidak mengabariku? Bagaimana kalau dia tidak kembali? Apakah dia tidak mempunyai perasaan yang sama sepertiku? Ya Allah, aku mencintainya. Bawalah ia kembali, dengan perasaan yang sama sepertiku.”

Dua minggu kemudian.

Ada suara nada sms. Aku langsung bergegas membacanya,

“Assalamu’alaikum.
Fico, apa kabar? Semoga kamu baik-baik saja. Aku di sini baik-baik saja. Aku di sini melanjutkan kuliahku. Kamu jangan khawatir. Aku di sii bahagia. Sampai jumpa dimusim hujan 2 tahun ke depan.
Wassalamu’alaikum”

Aku pun langsung membalasnya dengan semangat. Karena terlalu semangat, Hp ku sampai terjatuh. Tiba-tiba, ada sms dari Dara, teman dekat Farah. Aku pun langsung membacanya.

“Fic, mungkin aku harus bilang ini. Aku tidak tahan untuk terus merahasiakannya. Sebenarnya Farah ke Jerman, karena ia akan bertunangan. Ia dijodohkan oleh orangtuanya. Farah terpaksa menerimanya, karena jika tidak, perusahaan ayahnya akan bangkrut.Tetapi, Farah memberikan syarat untuk tidak bertunangan di Indonesia, karena takut menyakiti hatimu, dan berusaha merahasiakannya agar kamu tidak tau. Ia telah merencanakan ini jauh-jauh hari. Maaf aku harus mengatakan ini.”

Aku pun berteriak “Arghhhhh…… aku benciiii benciiii benciiiiiiiii. Farah kenapa lakuin ini?”

Semenjak kejadian itu. Aku membenci hujan. Aku membenci setiap cerita yang ada dikala hujan. Karena ketika hujan, bahagiaku adalah kesedihanku.
Saat kuliah dan duduk di taman kampus. Hujan tiba. Semua orang berlarian, menghindar dari hujan. Aku tetap diam, dan aku menangis. Tampak orang-orang melihatku. Tetapi mereka tak tahu aku menangis. Air mataku telah bersatu dengan air hujan, meliku-liku dipipiku menuju ke bawah, hingga akhirnya terjatuh. “Cowo macam apa aku ini. Menangis. Cengeng. Bodoh.” Ucapku.
Aku berlari dan aku bersembunyi. Aku tak mau melihat dan mendengar suara rintik hujan lagi. Aku bersembunyi dan aku menangis. Aku tak tahan dengan rasa sakit ini. Aku tak mau mengingatnya lagi.
“TIDAAAAKK!”Teriakku.

            Semenjak itu, duniaku sangat hancur. Namun, aku mencoba meyakinkan diriku sendiri, untuk melupakan semuanya. Aku tidak bisa harus seperti ini terus. Aku harus move on.
           
2 tahun kemudian.

Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Aku melupakan semuanya. Hari ini adalah hari yang sangat bahagia. Aku sukses. Lulus dengan nilai tertinggi.
Aku berfoto dengan teman-temanku. Semuanya memberi selamat kepadaku.
Tiba-tiba hujan pun datang, aku pun bergegas untuk berteduh.
Dan tanpa disangka, Farah berada dibelakang Fico dan berkata,“Kenapa lari? Biasanya kan hujan-hujanan.”
Suara itu. Aku tahu suara itu, aku sangat mengenalnya. Tetapi aku mencoba untuk menghiraukannya.
“Fico! Apa kamu lupa sama aku?”
Aku mencoba menggubrisnya, “Siapa kamu?Aku tidak mengenalmu.”
Fico terkejut melihat Farah, yang kini sudah mengenakan hijab dan pakaian yang menutup aurat. Farah terlihat lebih cantik.
“Hujan-hujanan lagi yuk!”Ajak Farah.
Fico jadi teringat dulu, ia sangat ingin melihat Farah mengenakan hijab. Tetapi yang terjadi kini,
“Tidak. Aku benci hujan. Aku benciiiiii.”
“Kenapa harus membenci hujan? Asal kamu tau, Fic. Aku tidak jadi bertunangan apalagi menikah. Cowo itu, tidak mau bersanding dengan wanita yang tidak mencintainya.” Jelas Farah.
“Sekarang. Apakah kamu masih membenci hujan? Aku tidak mencintainya, Fic. Aku mencintaimu. Di sana aku selalu memikirkanmu. Aku di sana melanjutkan kuliahku, makannya aku tidak kembali ke Indonesia sampai aku lulus. Ku kira kau menungguku. Ku kira kau masih seperti dulu, yang mencintaiku. Kalau begitu aku pergi, aku pun akan melupakan semuanya.”Lanjut Farah.
Farah pun pergi. Dia sempat berhenti sejenak. Dia kira, Fico akan menghampirinya, ternyata tidak. Airmatanya mengalir dipipinya, tanpa sepengetahuan Fico. Farah berlari meninggalkan Fico.
Hatiku berbicara “Aku sudah terlanjur sakit, Farah. Tidak mudah untuk memaafkanmu.”
            “Fic, lu bego!” Ujar Dino, teman Fico.
            “Iya gue bego.” Balas Fico, yang langsung beranjak pergi meninggalkan kampus.
            Ia memberhentikan sebuah taksi, dan pulang.

            Nada dering sms berbunyi, ternyata sms dari Dino,
           
“Fic, lu itu cowo. Dan kalau lu ngaku sebagai cowo sejati. Itu salah. Maafkan dia. Kalau tidak, itu sama saja seperti dia menyakitimu dulu. Ingat ia dijodohkan, bukan farah yang meminta. Sekarang lakukan apa yang ingin lu lakukan. Sebelum terlambat. Aku dengar, besok pagi jam 10, Farah akan kembali ke Jerman. Cuman lu yang bisa menghalang kehendaknya. Farah butuh lu, Fic.”

Aku terkejut. Apa yang harus kulakukan sekarang. Aku menyesal. Sangat menyesal.
Sepanjang malam aku memikirkannya, bagaimana jika aku tidak mampu menahannya agar tidak jadi berangkat ke Jerman. Aku terus berpikir, bertanya-tanya pada diriku sendiri sepanjang malam, hingga aku tertidur.

Aku terbangun dari tidurku. Aku melihat jam. Kukira aku telat, ternyata benar. Saat itu jarum jam menunjukan waktu jam 09.50. Aku langsung beranjak pergi ke rumah Farah menggunakan sepedaku. Aku kayuh sepedaku dengan cepat.
“Semoga aku tidak terlambat.” Ujarku.
Akhirnya aku sampai didepan rumahnya.
“Pak, Farah di mana pak?” Tanyaku pada tukang kebun, dengan napas terengah-engah.
“Oh, non Farah barusan saja berangkat.” Jawabnya dengan tenang.
Aku kembali mengkayuh sepedaku dengan cepat. Lalu ku temukan mobil Farah, yang barusaja memasuki halaman parkir bandara. Aku jatuhkan sepedaku, aku berlari mengejarnya.
“Farahhhh!” Teriakku memanggilnya.
Farah tidak mendengar. Aku kembali berlari, dan sampailah aku didekatnya, ku pegang tangannya dengan maksud membuatnya berhenti.
“Farah! Tunggu aku.”Ucapku padanya.
“Kenapa? Bukankah kau tidak mau denganku lagi? Aku akan mengabulkan permintaanmu sebentar lagi. Aku akan pergi jauh.”Jawab Farah dengan tidak memandang wajah Fico.
“Tidak Farah. Aku tau, kalau aku salah. Berilah aku kesempatan.”
“Lalu?”
“Aku sadar, bahwa aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku ingin kau disini. Bersamaku.”
“Apa alasanmu sehingga aku harus disini?”
“Denn Ich liebe dich. Karena aku mencintaimu.”
Kini, Farah memandang wajah Fico.
“Ucapkan sekali lagi, Fic.”Ujar Farah dengan tangan membelai pipi Fico.
“Ich liebe dich. Ah, tidak usah memakai bahasa Jerman. Aku mencintaimu, sejak dulu, 
 sekarang dan nanti hingga aku tidak bisa lagi untuk bernapas. Hingga kita kembali 
 dipertemukan dalam surga.”Fico mengatakannya kembali.
“Ich liebe dich, Fic.”Sambil memeluknya.

Hampir saja Fico melepaskan cintanya untuk pergi jauh. Mereka bisa bertemu kembali, itu bukan kebetulan, karena cinta mereka dipertemukan.

Semua yang hadir pasti akan pergi. Hanya dengan cinta, yang akan membuatnya kembali pulang. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERITA AKU, KAU, DAN KITA

Untuk Kamu yang Ada, dari Aku yang Tidak Ada